-->

METODE/DALIL ISTIHSAN


METODE / DALIL ISTIHSAN

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pengampu :
SUHAIMI RAZAK, M.HI




 










Oleh Kelompok 01 :
ABD. KARIM MM
ABD. KOHIR
ABD. KHOLIK
ABD. ROHMAN
ANISA
DINUL MARGHUBAH



Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Al-Ibrohimy Galis
Bangkalan 2015

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat-Nya kita dilimpahkan taufiq dan hidayah, dan atas segala kemudahan yang telah diberikan kepada kita, sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Shalawat beriringkan salam semoga abadi terlimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini. Amin!!
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki tidak terlalu bagus. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon rahmat dan ridho-Nya.

                                                                                                    




                                                                                                GALIS, 15April 2015    
                                                                                                

                                                                                                 Penulis







  



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................   I
DAFTAR ISI.....................................................................................................................   II
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................   1
A. Latar belakang..............................................................................................................   1
B. Rumusan masalah.........................................................................................................   1
C. Tujuan...........................................................................................................................   1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................   2
A. Pengertian dan Hakikat Istisan...................................................................................   2
B. Kehujjahan Istihsan Menurut Ulama’........................................................................   6

BAB III Penutup...............................................................................................................   11
A. Kesimpulan...................................................................................................................   11
B. Saran..............................................................................................................................   11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................   12














BAB 1
                                                                   Pendahuluan          
A. Latar belakang

Ilmu Ushul Fiqih itu sangat penting bagi siapa saja yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Sumber-sumber hukum, ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada sumber pokok yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu salah satunya : Istihsan.

B. Rumusan masalah

      1.            Bagaiman pengertian dan hakikat istihsan?
      2.            Bagaimana kehujjahan para ulama’ terhadap istihsan?

C. Tujuan

      1.            Untuk mengetahui pengertian dan hakikat istihsan
      2.            Mengetahui pandangan para ulama’ terhadap istihsan


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan hakikat istihsan

Secara harfiyah, istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain :

a. menurut al-bazdawi :
Adalah beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat  dari qiyas yang pertama.[1]

b. Menurut al-karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-bukhori :[2]
Adalah seorang mujtahid beralih dari hokum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hokum lain yang berbeda, karena ada factor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hokum yang pertama.

c. Menurut al-ghozali :
Adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.[3]

d. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali:[4]
Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil yang tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

e. Menurut Imam Malik
            Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemasklahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.[5]
f. menurut Wahbah az-Zuhaili ada dua definisi yaitu :[6]
      1.            Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jail berdasarkan alasan tertentu.
      2.            Mengecualikan hokum kasus tertentu dari prinsip hokum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.

Dari definisi-definisi di atas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas dua macam yaitu :
1. Istihsan Qiyasi.
Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hokum yang didasarkan kepada qiyas jail kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alas an yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hokum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut istihsan qiyasi. Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi, perhatikanlah contoh contoh berikut di bawah ini :
Apabila seorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkannya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Apabila ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jail kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebuttidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf itu kepada transaksi sewa-menyiwa.
Dalam transaksi sewa-menyiwa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik hak kepada penyiwa. Illah yang sama ditemukan dalam hal wakaf, meskipun bentuk illah tersebut  bersifat khafi ( tersenbunyi ). Yang penting pada wakaf adalah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian baru dapat dimanfaatkan secara baik jika di dalamnya terdapat pengairan yang baik.  Hak manfaat yang menjadi tujuan wakaf tidak tercapai, jika transaksi wakaf  tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan kepada jual beli, melalui qiyas jail. Sebab, pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik, bukan hak manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi sewa-menyiwa, di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat. Pengalihan hokum dari yang berdasarkan qiyas jali  kepada hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi tersebut karena ada alasan yang kuat, yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan tanah pertanian.
 Contoh lainnya ialah, berdasarkan istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jail, sisa minuman binatang buas,  seperti dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya.
Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsungbertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas  merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.
Pembedaan hokum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hokum dari hokum yang berdasarkan qiyas jail (najis dan haram ), kapada hokum yang berdasarkan qiyas khafi ( suci dan halal ), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.

2. istihsan istitsna’i
Istihsan istitsna’I ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian  dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsi-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat husus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berukut.
a.       Istihsan bi an-  Nashsh
Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan sesuatu kedalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
b.      Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. msalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
c.       Istihsan bi al-Urf
Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
d.      Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.
e.       Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.

B. Kehujjahan Istihsan Menurut Ulama’
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi kehujjahan istihsan. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan.

Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
1. Kelompok Yang Menerima Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:
a.       Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat.
b.      Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Diantaranya adalah firman Allah Swt QS. al-Baqoroh (2):185:
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ßƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
c.   Ucapan Abdullah Bin Mas’ud :[7]
فما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Artinya : Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah.

Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah.

2. Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil- dalil berikut :
a.       Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah satu dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum. Firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Q.S An-Nisa’ (4):59.
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima jika:
      1.            Seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
      2.            Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.
      3.            Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
      4.            Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah…’ ….”

Selain Imam Syafi’i kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syi’ah dan sebagian ulama kalam mu’tazilah karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas
Selain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafi’i ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing.Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atasIstihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.





























BAB III
PENUTUP
AKesimpulan
Dari definisi-definisi di atas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas dua macam yaitu : Istihsan Qiyasi dan Istihsan istitsna’i.
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi kehujjahan istihsan. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan.


B. Saran
Penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi menyempurnakan makalah ini sangatlah diharapkan.
















DAFTAR PUSTAKA

Departement Agama RI,  Al-quran dan terjemahan, Pustaka perca,1983
Bukhori Al, Kasyf al-Asrar An Ushul al-bazdawi , juz IV, Beirut: Dar al-Kitab Al-Arabi, 1991
Abd. Rahman Dahlan Dr. H., Ushul Fiqh, Sinar Garafika Offset, Jakarta; 2010
Rachmat Syafi’ie, MA Prof. Dr., Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka setia, Bandung, 2010
az-Zuhaili Wahbah, al-Wasith fi ushul al-fiqh al-islami, ttp Dar al-Kitab, 1977






[1] Al-Bukhori, Kasyf al-Asrar An Ushul al-bazdawi , juz IV, Beirut: Dar al-Kitab Al-Arabi, 1991, hal 7
[2] Ibid.
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafi’ie, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka setia, Bandung, 2010, hal. 111
[4] Ibid.
[5] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Sinar Garafika Offset, Jakarta; 2010, hal. 197
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi ushul al-fiqh al-islami, ttp Dar al-Kitab, 1977,hlm.286.
[7] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Sinar Garafika Offset, Jakarta; 2010, hal. 204


<a href="https://panel.niagahoster.co.id/ref/228571" target="_blank"><img src="https://niagaspace.sgp1.cdn.digitaloceanspaces.com/assets/images/affiliasi/banner/ads-persona-offline-to-online-business-cloud-hosting-affiliate-728-x-90.png" alt="Cloud Hosting Indonesia" border="0" width="728" height="90" /></a>

<a href="https://panel.niagahoster.co.id/ref/228571" target="_blank"><img src="https://niagaspace.sgp1.cdn.digitaloceanspaces.com/assets/images/affiliasi/banner/ads-persona-offline-to-online-business-cloud-hosting-affiliate-300-x-250.png" alt="Cloud Hosting Indonesia" border="0" width="300" height="250" /></a>

<a href="https://panel.niagahoster.co.id/ref/228571" target="_blank"><img src="https://niagaspace.sgp1.cdn.digitaloceanspaces.com/assets/images/affiliasi/banner/ads-persona-offline-to-online-business-cloud-hosting-affiliate-300-x-600.png" alt="Cloud Hosting Indonesia" border="0" width="600" height="400" /></a>

0 Response to "METODE/DALIL ISTIHSAN"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel